Teman yang Sombong

Berbuat baik tidak harus memberikan materi, namun juga memberi kesempatan orang lain berbahagia.

Suatu hari seorang kawan lama yang kebetulan pulang ke Jogja, mengajak saya dan beberapa kawan bertemu. Saya malas sekali bertemu karena kawan saya ini terkenal sombong dan selalu pamer. Namun kawan saya ini terus membujuk saya untuk ikut sekadar ngumpul dan ngopi-ngopi.

Tiba-tiba saya diingatkan oleh diri saya sendiri, bahwa membuat orang bahagia adalah sebuah kebaikan. Mungkin peran saya sangat rendah dalam pertemuan itu. Namun mungkin kawan-kawan akan bahagia ketika kita berkumpul bernostalgia lengkap tanpa satupun kawan lama yang absen.

Akhirnya saya putuskan untuk datang. Pertimbangan saya adalah saya ingin memberikan kesempatan kapada kawan-kawan saya berbahagia. Yah walaupun nantinya kami harus menjadi pendengar yang baik atas semua hal yang dipamerkan kawan saya. Mungkin kebahagiaan teman saya ada di situ. Ketika saya memberi dia ruang untuk berbahagia, maka di situlah kebaikan sedang saya lakukan. Saya pikir saya juga tidak perlu malas untuk mendengarkan kawan saya pamer. Bukankah itu semua adalah urusan pribadi dia. Lagian saya juga salah jika jengkel, karena kejengkelan saya adalah bentuk ego saya yang mendominasi rasionalitas saya. Bukankah saya juga harusnya berbahagia dengan kesuksesan dia, dan cukup hanya mengamati apapun yang terjadi?Bisa jadi alam sedang akan memberikan saya pelajaran untuk menghadapi ego, iri hati, buruk sangka, dan mungkin juga belajar megnamati bagaimana sih wujudnya sombong?

Akhirnya saya datang, dan benar. Kami menjadi pendengar pasif saat kawan saya pamer segala kesuksesannya. Namun yang membedakan adalah saya justru sangat bahagia saat melihat kawan saya sombong, karena saya pikir baru itu yang yang diketahuinya dari kehidupan. Akhirnya kami semua tertawa-tawa bergembira semua bersama-sama.