Seperti Bayi yang Baru Lahir

 Dalam sebuah diskusi, seseorang bertanya, "Mengapa banyak ajaran yang mengajarkan agar kita kembali menjadi anak kecil?Bukankah ajaran manapun selalu muncul simbol anak kecil?Lantas buat apa kita belajar capek-capek jika nantinya dikembalikan lagi menjadi seorang anak kecil?"

                            ----------------------

Pertama anak kecil adalah simbol kepolosan dan kebahagian, apalagi seorang bayi. Bayi hanya menggunakan instingnya saja untuk mencari susu ibunya. Tidak ada satupun yang ia pikirkan, olah, timbang, dan analisa seperti yang dilakukan oleh orang dewasa. Karena itulah bayi menjadi polos, karena otaknya belum diisi memori dari pengalaman kehidupannya. Ia hanya membawa DNA sifat dari orang tua dan leluhurnya. Lalu ketika sang bayi beranjak besar, ia mendapat satu persatu masukan ilmu pengetahuan dari orang tuanya. Iapun dikenalkan dengan pemisahan pemisahan dan dualitas, seperti bapak dan ibunya, nama nama benda sederhana, hingga bagaimana belajar berjalan. Semakin beranjak dewasa, maka memori yang ditanamkan di otaknya semakin banyak dan kompleks. Di situlah memori otak dan memori DNA nya mulai berkolaborasi, sehingga ia pun mulai memiliki keinginan dan sifat-sifat bawaannya pun mulai muncul. Pada fase anak kecil, keinginan manusia masih sangat sederhana, karena pikirannya pun masih sederhana. Ia hanya memiliki keinginan untuk bermain dan bersenang-senang. Lalu dimana adanya ego? Ego sudah ada semenjak manusia di dalam kandungan. Ego adalah sistem pertahanan hidup seorang manusia. Namun di usia bayi hingga anak-anak, ego pun bekerja seiring keinginan dan pikirannya yang sederhana. Mengapa? Karena lingkungan yang masih terbatas, orang-orang yang ditemui pun terbatas. Selain itu ia hanya tahu makan saja, tidak tahu bagaimana cara mencari makan.

Semakin beranjak remaja hingga dewasa, memori otak pun diisi semakin banyak data yang berasal dari pengalaman-pengalaman dan ajaran-ajaran yang ia terima dari orang lain. Otomatis jaringan sistem otak sudah mulai membentuk pola. Ia mulai mengetahui banyak hal. Mengetahui banyak hal otomatis membuat daya analitisnya bertambah canggih. Semakin banyak data yang ia simpan, semakin rumit pula kemampuan analitisnya. Selain itu kemampuan analitis ini juga semakin sering digunakan, bahkan setiap waktu. Mengapa? Karena data di memori otaknya semakin berlimpah, sehingga ibarat sebuah koki, ketika anda memiliki bahan makanan tak terbatas, maka semakin banyak pula masakan yang ingin anda buat. Anda justru menjadi bingung, mau masak apa dengan bahan sebanyak itu. Berbeda dengan ketika anda hanya memiliki sedikit bahan. Anda tidak punya banyak pilihan untuk memasak apa tentunya. Sama dengan pikiran. Semakin banyak bahan, yakni memori di otak, yang anda miliki, otomatis daya analistis anda bertambah banyak dan canggih karena banyaknya bahan yang anda miliki. Namun sama dengan koki tadi, anda justru akan terlalu banyak berpikir sehingga pikiran yang harusnya hanya anda gunakan untuk perangkat bertahan hidup, anda gunakan untuk semua hal dan setiap waktu!! 

"Lalu jika begitu, bukankan lebih baik tidak mengajarkan apa apa kepada bayi sehingga ia akan terus polos seperti adanya?"

Tidak juga begitu. Bahkan anak harimau dan elang pun diajarkan induknya untuk berburu mencari makan. Maka demikian pula anak manusia. Ia harus diajarkan cara untuk mencari makan dan tidak tergantung pada induknya. Namun anda harus tahu, jika manusia dasarnya sama dengan hewan. Ia akan memakan makanannya sendiri sampa kenyang, dan tidak akan berbagi walaupun makanan tersebut masih sisa saat ia kenyang. Manusia juga sama, di mana tidak ada manusia yang mau berbagi makanannya dengan manusia lain walaupun makanan itu masih tersisa. Keinginan manusia untuk hidup lebih nyaman juga membuat manusia hidup kolektif, untuk mencari makan bersama sama, dan memudahkan kehidupan mereka. Kemajuan pikiran manusia akhirnya membentuk komunitas. strata sosial, pekerjaan, dan sistem hidup bekerja bersama yang membuat manusia manusia menjadi lebih mudah mencari makan.  Artinya tidak semua manusia harus menanam padi, atau mencari air sendiri, namun sebagian saja manusia yang menanam padi, sementara yang lainnya bertugas menjualkan padi kepada manusia lain yang membutuhkan atau mengatur jatah air untuk semua manusia yang membutuhkan air. Manusia lain mungkin akan membuat traktor, membuat baju, mengolah makanan, bahkan mengelola jual beli dan mengelola benda kesepakatan seluruh dunia yang bernama uang (disebut perbankan). Akibatnya hidup manusia semakin mudah untuk mencari makan. Namun semua kerjasama itu memiliki konsekuensi, yakni seorang manusia harus bisa berperan apa dalam kerjasama tersebut agar bisa mendapat makanan. Membuat traktor kah, membantu menyalurkan beras kepada manusia lain yang membutuhkan, atau peran lainnya? 

Agar dapat berperan dalam sistem yang dibuat manusia sendiri, manusia membutuhkan spesialisasi keterampilan. Lalu manusia pun mengajarkan kepada anaknya keterampilan keterampilan tersebut. Saat keterampilan tersebut semakin kompleks, maka kemudian manusia menciptakan sekolah yang berjenjang hingga akhirnya manusia yang telah selesai belajar di sekolah tersebut, dapat mengambil peran dalam satu titik kecil bernama pekerjaan dalam rantai sistem kehidupan manusia. 

Namun saat data dalam memori sudah sangat banyak, dan otak pun memiliki kecanggihan analisa, manusia justru semakin tenggelam dalam sifat dasar hewaninya : bertahan hidup dan menganggap bahwa semua yang diciptakannya nyata. Manusia menjadi semakin menderita akibat sistem kehidupan yang diciptakannya. Jika leluhur manusia bertahan hidup dari hewan pemangsa atau cuaca ekstrem, di masa modern hewan pemangsa dan cuaca ekstrem itu sudah tidak lagi menjadi musuh manusia. Musuh manusia berganti menjadi sesama manusia. Hewan pemangsa cuaca ekstrem tersebut menjelma menjadi atasan anda, teman kerja anda, tetangga anda, hingga mungkin orang tua, istri, dan anak anda. Pada dasarnya bukan salah sistem yang diciptakan, namun karena satu hal dasar : semua memperebutkan makanan. Manusia menjadi hidup dalam ilusi pikirannya sendiri dan tidak bisa membedakan mana realitas dan mana bayangan. Pada dasarnya makanan ini hanya menjadi dasar masalah saja, dan menjadi masalah berantai bagi manusia, akibat sistem kehidupan yang diciptakan manusia sendiri. Manusia menjadi ketakutan akan ilusi pikirannya sendiri. Karena takut tidak bisa makan, lantas manusia berusaha menjamin agar di kemudian hari ia tak lagi kelaparan. Akibatnya manusia harus mencari jatah makanan lebih banyak untuk menjawab ketakutannya yang semu. Agar makanan banyak, maka anda harus naik jabatan. Agar naik jabatan, anda harus bersaing dengan teman anda sekantor. Persaingan itupun bisa persaingan yang dikatakan sehat (walau tidak ada persaingan sehat) dan persaingan "tidak sehat" alias anda menggunakan segala cara kotor tidak peduli menyakiti manusia lain agar anda memenangkan pertarungan untuk naik jabatan. Keruwetan itu belum juga usai karena masih ada bagian yang namanya keinginan. Sebenarnya keinginan ini tadinya adalah insting dasar, seperti saat perut lapar ya ingin makan. Namun semakin banyak benda yang diciptakan manusia untuk memudahkan hidupnya, keinginan manusia pun semakin banyak. Akibatnya ketika keinginan banyak (bagian dari ego), maka manusia akan menggunakan otak pikirannya untuk mencari cara guna memenuhi keinginannya yang tak pernah berhenti dan terus menerus ada. Akibatnya energi manusia seringkali habis hanya untuk memenuhi keinginannya. 

Jika kita kembali ke bayi tadi, anda bisa mengetahui betapa rumitnya hidup manusia saat ini. Manusia tidak lagi saling berebut makan, namun berlomba mewujudkan keinginan. Pikirannya 24 jam tidak pernah berhenti, bahkan saat tubuh manusia harus non aktif alias tidur. Lalu manusia pun diingatkan para leluhurnya tentang ajaran kebijaksanaan, "kembali lagi seperti bayi yang baru lahir". 

Bedanya kini, manusia telah memiliki pengetahuan berlimpah yang dapat untuk menciptakan segala sesuatu yang baik bagi kehidupan. Jika dipergunakan dengan semestinya, otak manusia akan sangat berguna, tidak hanya bagi kehidupan manusia saja, namun juga kehidupan lainnya dan alam semesta. Bandingkan dengan bayi yang baru lahir dan tidak memiliki memori apa apa selain memori DNA nya?Apa yang bisa diperbuat bayi?

Kesimpulannya, ajaran agama dan spiritualitas mengajarkan kita untuk kembali tidak banyak pikiran seperti seorang bayi yang baru lahir. Pikiran harus sesedarhana mungkin dan digunakan untuk kebaikan peradaban manusia sendiri serta kehidupan lain di luar manusia. Hewan sakit bisa sehat karena teknologi kedokteran hewan. Padi yang tadinya asal tanam, menjadi gemuk-gemuk karena ilmu pertanian. Bahkan ajaran ajaran spiritualitas dan agama bisa dibuktikan karena adanya ilmu fisika, biologi, dan kimia. Manusia yang tidak memiliki sayap, bisa terbang seperti burung dan membantu memadamkan kebakaran hutan yang membuat mahluk lain menderita karena adanya teknik pemadaman udara. Dan masih banyak produk lain dari pikiran dan otak manusia yang berguna bagi mahluk lain dan alam semesta. Itulah yang dinamakan hamemayu hayuning bawono atau manusia adalah khalifah rahmatan lil alamin atau berkah bagi mahluk lain dan alam semesta. Manusia hanya tinggal mencari tahu bagaimana kembali menggunakan pikiran dan memori yang ada di otaknya sesekali untuk memecahkan permasalahan demi memudahkan kehidupan lain. Manusia hanya harus menjadi bayi, namun bayi yang juga memiliki pengetahuan luas demi kebaikan seluruh mahluk dan alam semesta. Itulah mengapa bayi tetap harus dibekali dengan data data dan pengetahuan seiring perkembangan tubuhnya. Ketika seorang bayi hanya menjadi seorang bayi, maka otak manusia tidak ada gunanya. Tidak akan ada kemajuan apapun yang dicapai peradaban manusia untuk memudahkan hidupnya sendiri dan kehidupan lain di alam semesta. Belajar menjadi bayi, berarti adalah belajar berpikir seperti bayi dengan pikiran yang sangat sederhana, namun tetap memiliki data memori yang lengkap dan canggih untuk mendukung kemajuan peradaban manusia. Dengan ini, kehadiran manusia menjadi berguna bagi alam semesta...