Taman Bermain

Setiap orang sedang bermain sendiri sendiri dengan 'kendaraannya' masing-masing yang bernama tubuh manusia. Hidup kita masing-masing adalah untuk diri kita masing masing. Apa yang kita jalani adalah takdir kita masing masing  Tidak ada misi bersama-sama. Semua misi kehidupan adalah personal. Tidak ada kaitan dengan orang lain atau mahluk lain. Sehingga setiap jengkal kehidupan kita masing-masing dan apa yang kita lakukan, seharusnya tidak memiliki urusan dengan orang lain.

Namun kita kebetulan berada di tempat yang sama : planet Bumi yang sempit dan serba terbatas. Namun semua tersedia dengan 'cukup' untuk memenuhi kebutuhan agar tetap hidup. Jika setiap mahluk mengambil porsinya masing masing sesuai kebutuhan, harusnya tidak ada masalah. Namun sayang, hanya manusia yang terlalu khawatir jika dirinya tidak kebagian segala hal yang menjadi kebutuhan hidupnya. Hanya manusia. Satwa dan tumbuhan selalu mengambil porsi secukupnya. Tidak ada yang terlalu kenyang, sehingga tidak ada yang kelaparan karena kehabisan makanan. Namun semua menjadi berbeda ketika senjata utama manusia, yakni otak besarnya dibanding senjata mahluk lain, mengkreasikan mode bertahan hidup berlebihan yang disebut ego. Ego adalah senjata utama manusia untuk bertahan hidup, sekaligus kendaraan tempur untuk menjajah mahluk lain dan sesama manusia. Ketika masing-masing manusia memiliki ego yang berlebihan, maka ia tidak lagi hidup secukupnya. Porsi yang tadinya cukup untuk hidup bersama pun ingin dikuasainya sendiri, untuk melawan ketakutannya akan sesuatu, yang ia ciptakan dalam pikirannya : masa depan.

Lalu manusiapun lupa bahwa hidupnya adalah kodrat pribadinya  Ia hanya diminta untuk hidup, mengambil kebutuhan yang disediakan secukupnya karena ia harus berbagi dengan mahluk dan manusia lain, lalu mati. "Saya tidak punya urusan dengan hidupmu, karena hidupmu adalah sebuah urusan personal dirimu. Namun karena kita berada di tempat yang sama, maka mari kita berbagi, agar tugas kita hidup menjadi sama sama lancar sampai giliran kita mati". Seharusnya begitu.

Namun ego yang berlebihan membuat manusia menjadi serakah dan ingin saling mengalahkan. Otak yang harusnya hanya ia gunakan untuk senjata ketika bertahan hidup, ia gunakan untuk menambah kesenangannya. Lalu muncul lah peradaban manusia dimana manusia bekerja sama demi ego agar ia menjadi lebih senang, agar manusia bisa mengalokasikan energi yang lebih sedikit untuk bekerja atau bergerak, dan menjamin ketakutannya tidak terjadi. Lalu terciptalah teknologi.

Namun ternyata hal itu tidak pernah menjadi solusi bagi ketakutan, yang lagi lagi menjadi senjata alamiah tubuh manusia yang lemah untuk bisa bertahan hidup di planet Bumi. Semakin banyak ia berpikir, maka ketakutan manusia semakin besar. Apapun yang ia temui, pikirannya menganalisa. Otak pun digunakan sepanjang waktu, tidak lagi ketika ia dalam kondisi terancam dan bertahan hidup. Namun otak manusia tidak seperti gading gajah atau cakar harimau yang tidak perlu energi besar untuk menggunakan dan merawatnya. Otak manusia adalah konsumer energi terbesar dari tubuh manusia. Ketika tidur saja, 25℅ energi manusia dialokasikan ke otak, apalagi ketika otak terus menerus digunakan. Akibatnya tubuh manusia kekurangan energi. Sistem sistem kekebalan tubuh, sistem pencernaan, sistem peredaran darah pun bekerja dengan energi yang tak memadai. Akibatnya kinerjanya menjadi minimal, dan satu persatu organ tubuh manusia menjadi rusak. Lalu banyak manusia mati cepat, saat ketakutan akan masa depannya belum juga terjadi.

Kehidupan, selalu lebih sederhana dari analisa pikiran manusia yang begitu rumit. Semua sebenarnya netral karena hidup masing masing mahluk adalah untuk dirinya sendiri. Ketika manusia menempatkan kembali otak yang berpikir pada kodrat awal dan porsinya, maka pikiran manusia akan menjadi sistem yang berguna bagi kemajuan kehidupan bersama-sama di planet Bumi yang sempit. Namun ketika otak dan pikiran digunakan sepanjang waktu, akibatnya setiap individu akan selalu berpikir bahwa segala sesuatu yang ia temui adalah sebuah ancaman. Apalagi manusia kemudian menciptakan sistem sistem sosial dari mulai derajad, pangkat, materi, pendidikan, hingga agama yang membuat pikiran terus menganggap segala ssesuatu adalah pesaing dan ancaman. Bahkan hanya karena berpapasan di jalan dan saling bertatap mata pun, membuat manusia berada dalam analisa analisa yang hanya ada di pikirannya. Lalu muncul pikiran "orang itu ingin mengajak berkelahi" atau jika yang saling bertatap mata pria dan wanita, maka yang muncul adalah "orang ini cantik sekali dan menyukai saya..". Dan selanjutnya beragam kejadian terjadi mengikutinya  : berkelahi di jalan, atau jatuh cinta dan berumah tangga. Semua adalah pilihan tindakan yang dipilih satu individu hasil dari analisa pikirannya. Padahal awalnya sederhana, saling bertatap mata yang bisa jadi sengaja atau tidak sengaja. Hidup dalam satu tempat yang sama lumrah saling bertatap mata, karena itulah tugas mata : menangkap segala hal di depan tubuh manusia. Yang ribet adalah otak yang menganalisa tatapan mata menjadi beragam pertimbangan yang hanya ada di kepala manusia, dan menentukan apa tindakan berikutnya. Salah satu analisanya adalah ancaman terhadap eksistensi identitasnya yang semu. 

Namun bagi mereka yang telah terbangun dari habit over thinking, akan melihat manusia lain yang masih terus tertidur dalam ketidaktahuan, dengan cara berbeda. Mereka yang tidak tahu seperti anak anak kecil nakal yang hanya ingin bermain. Ketika bermain mereka mungkin mencubit, menendang, melempar, atau memaki kita. Namun apapun yang dilakukan anak anak adalah ketidaktahuan. Tidak ada amarah, karena manusia manusia yang telah terbangun dalam kesadaran tahu, mereka hanya anak-anak nakal yang ingin bermain..