Hidup Adaptif, Bukan Kompetitif

Banyak yang protes ketika saya menulis sebuah status : "Hidup yang benar adalah ketika anda hidup dengan adaptif, bukan kompetitif.."

Sebagian besar yang protes mengatakan, jika tidak kompetitif bagaimana kita bisa hidup di tengah persaingan?.

Justru itu yang kurang tepat. Dunia yang penuh persaingan justru menjadi level peradaban terendah dalam sejarah umat manusia. Mengapa? Karena ketika kita bicara persaingan, berarti yang aktif adalah pikiran anda. Saya pernah menulis di beberapa tulisan lalu, jika fungsi pikiran adalah UNTUK TUBUH KITA BERTAHAN HIDUP DARI ANCAMAN. Ketika anda merasa harus bersaing, artinya semua yang ada di sekitar anda adalah ancaman bagi kehidupan anda. 

Lalu apa yang salah??

Ketika pikiran anda sangat aktif, maka yang terjadi adalah frekuensi anda di alam semesta ini menjadi sangat rendah. Ketika frekuensi anda rendah, maka apapun yang sefrekuensi dengan anda akan tertarik ke kehidupan anda. Kesialan, ketidakberuntungan, kehilangan, dan lain-lain adalah semua yang berfrekuensi rendah. Biasanya hal-hal tersebut ditarik oleh emosi emosi iri hati, marah, trauma, ketakutan, kekhawatiran, putus asa, rendah diri, dan lain-lain. Hal ini kemudian ekuivalen dengan kondisi mental masyarakat modern saat ini, dimana di tengah persaingan, orang-orang dengan emosi emosi berfrekuensi rendah tersebut mudah kita jumpai. Celakanya pola pikir 'hidup harus kompetitif' ini telah ditanamkan di pendidikan kita sejak usia dini. Anak-anak kita tanamkan untuk bersaing dengan teman temannya, sehingga ketika mereka beranjak dewasa, anak anak kita akan membentuk diri menjadi orang orang yang egois, mudah marah, stress, memiliki beragam penyakit, tidak bahagia, dan justru dikelilingi oleh kegagalan. 

Berbeda dengan hidup yang adaptif, dimana seseorang akan fleksibel seperti air. Ia mengalir saja dalam arus kehidupan. Namun di sisi lain, ia juga tetap mengarahkan kehidupan ke arah yang ia inginkan. Kapan harus memaksimalkan potensi, mencipta, atau bekerja, maka ia akan melakukan dengan optimal. Sebaliknya, ia juga akan berhenti ketika saatnya harus berhenti. Seorang yang adaptif tahu kapan harus menginjak pedal gas, atau kapan harus menginjak pedal rem. Berbeda dengan mereka yang harus selalu kompetitif, terus menginjak pedal gas. Bisa dibayangkan betapa melelahkannya. 
Menjadi adaptif di masa sekarang tidak mudah, karena sama saja anda menginstall ulang software baru di pikiran anda. Namun ketika software baru ini telah terinstall, anda akan menemukan kebahagiaan, kedamaian, rejeki melimpah, keberuntungan, kesehatan, dan kesuksesan. Semua bisa anda lakukan ketika anda tidak lagi menjadikan pikiran sebagai tuan anda, melainkan sebagai pembantu anda. Artinya pikiran tetap berfungsi, namun andalah yang menentukan langkah-langkah yang harus anda ambil dalam merespon permasalahan anda. Ketika pikiran telah anda jinakkan, maka anda akan menyadari sebuah energi misterius bernama keberlimpahan. Mendadak anda akan memasuki kesadaran yang menyadari jika anda telah memiliki semuanya. Yang ada adalah rasa bersyukur dan terima kasih. Frekuensi keberlimpahan ini sangat tinggi. Artinya ketika anda masuk kepada frekuensi keberlimpahan, maka anda akan mengakses atau membuka pintu dimana didalam ruangan yang anda buka tersebut berisi kekayaan, ketentraman, kemakmuran, kecukupan, keberuntungan, kesehatan, dan kedamaian. Apapun yang ada di ruang frekuensi keberlimpahan itu akan tertarik menuju kehidupan anda. Jika diterjemahkan dalam bentuk wujud dan materi, ketika pikiran anda adanya persaingan, maka yang akan tertarik ke kehidupan anda adalah pesaing pesaing yang ingin menjatuhkan anda. Namun sebaliknya jika anda menjadi orang yang adaptif, otomatis segala hal yang membantu anda akan mendatangi kehidupan anda.

Guru saya pernah berkata, "Semesta tidak mewujudkan keinginanmu. Semesta hanya akan mewujudkan apapun yang kamu pancarkan...."

cara hidup yang benar